“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan pengharapan akan ridha Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.”
(H.R. Muttafaqun ‘Alaih)
Para
sahabat membagi dua belas bulan dalam satu tahun menjadi dua bagian.
Enam bulan pertama mereka memohon kepada Allah agar bisa mendapati bulan
Ramadhan
dan mampu mengisinya dengan amal ibadah yang optimal. Pada enam bulan
kedua, mereka memohon kepada Allah Swt. agar semua ibadah yang dilakukan
pada bulan tersebut diterima.
Dengan kata lain, para sahabat menjadikan Ramadhan sebagai titik tolak kurikulum kehidupannya. Tahun ajaran hidup mereka diawali dan diakhiri pada bulan Ramadhan.
Bulan mulia tersebut dijadikan masa pembuktian ibadah lima bulan
sebelumnya, sekaligus sebagai masa persiapan menempuh hidup pada enam
bulan sesudahnya.
Sebenarnya, sangat wajar apabila sahabat menjadikan Ramadhan sebagai munthalaq kurikulum hidup karena ada berbagai keistimewaan yang Allah Swt. karuniakan pada bulan Ramadhan yang tidak diberikan pada bulan-bulan lain, di antaranya adalah sebagai berikut.
Pertama, pintu surga dibuka, sedangkan pintu neraka ditutup, dan setan-setan dibelenggu. Rasulullah saw. bersabda, “Jika telah datang bulan Ramadhan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup…”
(H.R. Bukhari). Hadits ini bisa dipahami apa adanya, yaitu pintu surga
betul-betul dibuka dan pintu neraka ditutup. Selain itu, bisa dipahami
bahwa peluang masuk surga begitu besar karena pada bulan ini, Allah Swt.
mensyariatkan banyaknya jumlah ibadah yang dapat membawa seseorang ke
surga. Sebaliknya, peluang masuk ke neraka kecil karena peluang
bermaksiat menjadi lebih kecil.
Kedua, meningkatnya derajat ibadah. Pada bulan Ramadhan,
Allah Swt. melipatgandakan ganjaran dan menaikkan derajat ibadah. Satu
ibadah wajib dilipatgandakan menjadi tujuh puluh kali ibadah wajib pada
bulan lain dan ibadah sunnah bernilai ibadah wajib. Rasulullah saw.
bersabda, “Barang siapa bertaqarrub kepada-Nya (pada bulan Ramadhan)
dengan suatu kebaikan, ia bagaikan melakukan suatu kewajiban pada bulan
lainnya. Barang siapa melakukan suatu kewajiban pada bulan ini, maka ia
sama dengan orang yang melakukan tujuh puluh kali amalan wajib pada
bulan lainnya” (H.R. Ibnu Khuzaimah). Dalam hadits lain, dikemukakan bahwa satu tasbih pada bulan Ramadhan sepadan dengan seribu kali tasbih pada bulan lain (H.R. at-Tirmidzi). Itulah sebabnya Ramadhan disebut pula Syahr Ar Rahmah (bulan yang penuh rahmat) dan Syahr ala-i (bulan yang penuh nikmat dan limpahan rahmat). Nilai ibadah pada bulan ini lebih tinggi ketimbang sebelas bulan lainnya.
Ketiga, dihapuskan dosa-dosa. Allah Swt. berjanji akan mengampuni semua dosa yang telah lalu bagi mereka yang “mendirikan” Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi saw., “Barang siapa yang ‘mendirikan’ Ramadhan dengan penuh keimanan dan penghayatan, maka akan diampuni semua dosanya yang telah lalu.” “Mendirikan Ramadhan” bermakna menghidupkan hari-hari Ramadhan dengan peningkatan kualitas dan kuantitas ibadah.
Dalam hadits lain, disebutkan bahwa Ramadhan adalah kafarat (penghapus dosa) sampai Ramadhan
berikutnya selama tidak dilakukannya dosa-dosa besar. Menurut
Rasulullah saw., shalat lima waktu, dari Jumat ke Jumat berikutnya, dari
Ramadhan hingga Ramadhan
berikutnya, adalah penghapus dosa-dosa di antaranya apabila dosa-dosa
besar ditinggalkan (H.R. Muslim). Rasulullah saw. pun bersabda, “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan pengharapan akan ridha Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu” (H.R. Muttafaq ‘Alaih). Karena keutamaan ini, Ramadhan disebut pula Syahr An Najah atau ”bulan pelepasan dari siksaan neraka”.
Berpuasa selama satu bulan penuh adalah kewajiban pokok umat Islam yang eksklusif pada bulan Ramadhan. Karena itu, Ramadhan disebut pula Syahr Ash Shiyâm (bulan puasa).
Berbeda dengan ibadah pokok lain, seperti shalat, zakat, dan ibadah
haji yang dapat dilihat dengan mudah oleh orang lain, ibadah puasa hanya bisa dilihat oleh Allah Swt. dan hanya diketahui oleh-Nya dan diri sendiri. Itulah sebabnya puasa adalah satu-satunya ibadah “untuk Allah Swt.”. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Swt. menegaskan, “Setiap amal anak Adam (manusia) itu untuknya sendiri, kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya … (H.R. al-Bukhari, Muslim, an-Nasa’i dan ibnu Hibban dari Abu Hurairah).” Karena itulah Ramadhan disebut pula sebagai Syahrullâh (bulan Allah).
Secara harfiah, puasa yang dalam bahasa Arab disebut shaum (dari shaama-yashuumu-shauman) yang berarti ’menahan diri dari segala sesuatu’. Ahli fikih mendefinisikan puasa
sebagai “menahan diri dari segala yang masuk ke dalam kerongkongan,
baik berupa makanan, minuman, obat, maupun yang semacamnya dan menahan
kemaluan sejak terbit fajar hingga terbenam matahari”.
Dalam konsep Islam, puasa tidak sekadar menahan diri dari makan, minum, hubungan suami istri, dan hal-hal yang membatalkan ibadah puasa secara fisik, tetapi juga menahan diri dari segala hal yang menyebabkan hilangnya pahala puasa, seperti berbohong, membicarakan aib orang, memfitnah, dan perbuatan maksiat lainnya. Pada saat bersamaan, puasa pun (terutama pada bulan Ramadhan)
harus dilengkapi dan diselaraskan dengan ibadah-ibadah lainnya, tidak
hanya ibadah yang berdimensi vertikal tetapi juga yang berdimensi
horizontal.
Simaklah sebagian isi khutbah Rasulullah saw. ketika menyambut bulan Ramadhan,
“Wahai manusia, barang siapa di antara kalian memberikan makanan untuk
berbuka kepada orang-orang Mukmin yang berpuasa pada bulan ini, maka di
sisi Allah nilainya sama dengan membebaskan seorang budak dan ia
diberikan ampunan atas dosa-dosa yang lalu,” (sahabat-sahabat bertanya),
“Ya Rasulullah, tidaklah kami semua mampu berbuat demikian?” Rasulullah
yang mulia meneruskan, “Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya
dengan sebutir kurma atau seteguk air. Tuhan akan memberikan pahala yang
sama kepada orang yang melakukan kebaikan yang kecil karena tidak dapat
melakukan kebaikan yang lebih besar.”
“Wahai manusia, siapa yang membaguskan akhlaknya pada bulan ini, ia akan berhasil melewati shirath
pada hari ketika kaki-kaki tergelincir. Siapa yang meringankan
pekerjaan orang-orang yang dimiliki tangan kanannya (pegawai atau
pembantu) pada bulan ini, Allah akan meringankan pemeriksaan-Nya pada
Hari Kiamat. Barang siapa menahan kejelekannya pada bulan ini, Allah
akan menahan kemurkaan-Nya pada hari ketika ia berjumpa dengan-Nya.
Barang siapa memuliakan anak yatim pada bulan ini, Allah akan
memuliakannya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa
menyambungkan silaturahmi pada bulan ini, Allah akan menghubungkan dia
dengan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa
memutuskan kekeluargaan pada bulan ini, Allah akan memutuskan rahmat-Nya
pada hari ia berjumpa dengan-Nya.”
HIKMAH PUASA:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar